OLEH: Yudhi Alhamdi Amras, S.Pd.I
Tradisi
keagamaan pada dasarnya merupakan pranata keagamaan yang sudah dianggap baku
oleh masyarakat pendukungnya. Dengan demikian tradisi keagamaan sudah merupakan
kerangka acuan norma dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Dan tradisi
keagamaan sebagai pranata primer dari kebudayaan memang sulit untuk berubah,
karena keberadaannya didukung oleh kesadaran bahwa pranata tersebut menyangkut
kehormatan, harga diri dan jati diri masyarakat pendukungnya.
Para
ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi. Menurut bentuknya
kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu (Koentjaraningrat, 1986:80-90)
1. Sistem kebudayaan (cultural system)
Sistem
kebudayaan berwujud gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai budaya, norma-norma, pandangan-pandangan
yang benruknya abstrak serta berada dalam pikiran para pemangku kebudayaan yang
bersangkutan.
2. Sistem sosial (social system)
Sistem
sosial beruwud aktivitas, tingkah laku bepola, perilaku, upacara-upacara serta
ritus-ritus yang wujudnya lebih konkret. Sistem sosial adalah bentuk kebudayaan
dalam wujud yang lebih konkret dan dapat diamati.
3. Benda-benda budaya (material culture)
Benda-benda
budaya disebut juga sebagai kebudayaan fisik atau kebudayaan material. Benda
budaya merupakan hasil tingkah laku dan karya pemangku kebudayaan yang
bersangkutan.
Selanjutnya
isi kebudayaan, menurut koenjaraningrat terdiri atas tujuh unsur, yaitu:
bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, religi dan kesenian. Dengan demikian dilihat dari bentuk dan isi,
kebudayaan pada dasarnya merupakan suatu tatanan yang mengatur kehidupan suatu
masyarakat. Kebudayaan merupakan lingkungan yang terbentuk oleh norma-norma dan
nilai-nilai yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai serta
norma-norma yang menjadi pedoman hidup itu kemudian berkembang dalam berbagai
kebutuhan masyarakat, sehingga terbentuk dalam satu sistem sosial. Dari sistem
ini selanjutnya terwujud pula benda-benda kebudayaan dalam bentuk benda fisik.
Dalam
kaitannya dengan pembentukan tradisi keagamaan, secara konkret, pernyataan
Koentjaraningrat tersebut dapat digambarkan melalui proses penyiaran agama,
hingga terbentuk suatu komunitas keagamaan. Sebagai contoh, masuknya agama
kenusantara sejak abad keempat (Hindu Budha), ketujuh (Islam) dank e 16
(Kristen). Meskipun keempat agama tersebut disiarkan ke Nusantara dalam kurun
waktu yang berbeda, namun pengaruhnya terhadap prilaku masyarakat pendukungnya
di Indonesia masuh terlihat nyata.
Menurut
Robert C, Monk, memang pengalaman agama umumnya bersifat individual. Tetapi
karena pengalaman agama yang dimiliki umumnya selalu menekankan pada pendekatan
keagamaan bersifat pribadi, hal ini senantiasa mendorong seseorang untuk
mengembangkan dan menegaskan keyakinannya itu dalam sikap,tingka laku, dan
praktek-praktek keagamaan yang dianutnya. Inilah sisi-sisi sosial
(kemasyarakatan) yang meliputi unsur pemelihara dan pelestarian sikap para
individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut.
Bagaiman
pengaruh tradisi keagamaan terhadap sikap keagamaan ini dapat dilihat dari
contoh yang paling sederhana. Seorang muslim yang dibesarkan di lingkungan
keluarga yang taat akan menunjukan sikap yang menolak ketika diajak masuk ke
kelenteng, Pure dan Gereja. Sebalinya hatinya akan tenteram saat menjejakan
kakinya ke Masjid. Demikian pula seorang penganut agama katolik dan agama yang
lainnya akan mengalami hal yang serupa.
Dalam
konteks pendidikan, tradisi keagamaan merupakan isi pendidikan yang bakal
diwariskan generasi tua kepada generasi muda. Sebab pendidikan menurut Hasan
Langgulung, dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang individu
dan masyarakat. Dari sudut pandang individu, maka pendidikan diartikan sebagai
upaya untuk mengembangakan potensi individu. Sedangkan dari sudut pandang
masyarakat, pendidikan merupakan pewarisan nilai-nilai budaya oleh generasi tua
kepada generasi berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar